Mari Dukung Revitalisasi Bahasa Daerah

Secara geografis, Indonesia terletak di kawasan tropis Asia Tenggara, bertetangga dengan Malaysia, Singapura, Vietnam, Brunei Darussalam, Filipina, Papua Nugini, Timor Timur, India, Palau dan Australia, di atas garis khatulistiwa dan di antara Pasifik dan laut India. Selain keindahan alam dan letaknya yang strategis sebagai pusat perdagangan internasional, Indonesia juga diberkati untuk menjadi rumah bagi 633 suku bangsa (Statistics Indonesia, 2015) dan 718 bahasa Pribumi (Puslitjakdikbud Indonesia, 2022) yang hidup dan tersebar di 17.504 pulau (Statistics Indonesia, 2018). Hampir setiap kelompok etnis di Indonesia memiliki bahasa asli mereka sendiri dengan warisan, budaya dan tradisi lokal yang unik. Statistik ini menjadikan Indonesia sebagai negara multi bahasa kedua di dunia setelah Papua Nugini dengan 839 bahasa Pribumi dan di depan Nigeria dengan 510 bahasa (Eberhard, et al., 2019). Untuk menegosiasikan keragaman tersebut, Indonesia mempromosikan dan memodernisasi bahasa Melayu, bahasa asli Melayu masyarakat di Pulau Sumatera dan Semenanjung Malaka, menjadi bahasa resmi Indonesia. Bahasa tersebut kemudian secara politis bernama bahasa Indonesia dan sejak saat itu menjadi lingua franca masyarakat Indonesia, yaitu suatu bahasa yang memfasilitasi komunikasi masyarakat dengan bahasa yang beragam. Sebab adanya kontak antara penutur bahasa asli yang berbeda bersamaan dengan penggunaan bahasa lingua franca nasional, bahasa Indonesia, seringkali memungkinkan masyarakat Indonesia untuk fasih dalam lebih dari satu bahasa.
Selain diperkenalkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua di berbagai daerah, masyarakat Indonesia juga telah terbiasa terpapar dengan bahasa asing. Jauh sebelum Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya dari penjajahan Jepang pada tahun 1945, para pedagang Melayu dari Selat Malaka yang berlayar dan menjual berbagai komoditas di berbagai daerah pesisir di Indonesia menggunakan bahasa Melayu sebagai lingua franca kepada penduduk setempat (Paauw, 2009). Para pedagang Melayu, bersama para pedagang dari India dan pendakwah Islam dari Timur Tengah, juga memperkenalkan Islam kepada masyarakat setempat, dengan kitab sucinya, Al-Qur’an, dan referensi, hadits, menggunakan bahasa Arab. Menyusul masuknya Islam di berbagai daerah, kerajaan-kerajaan Islam didirikan dan pesantren-pesantren dibangun. Bahasa Arab, bersama dengan bahasa Pribumi di daerah-daerah, kemudian digunakan sebagai bahasa pengantar. Namun, berbeda dengan kasus asrama di Amerika Serikat (Lomawaima & McCarthy, 2006), Kanada (Battiste, 1998) dan Selandia Baru (Benton, 1989) yang menekan penggunaan bahasa Pribumi mereka, penguasaan bahasa Arab di pesantren-pesantren Indonesia digunakan untuk memahami Al-Qur’an dan hadits, sedangkan bahasa Pribumi digunakan untuk mengajarkan Islam kepada masyarakat. Saat ini, statistik menunjukkan bahwa Islam telah menjadi agama mayoritas di Indonesia (85,1% dari total populasi) dan Indonesia memiliki populasi Muslim terbesar di dunia (205.000.000 jiwa) (Statistics Indonesia, 2015).
Namun, bahasa Arab bukanlah satu-satunya bahasa asing yang hidup bersama masyarakat Indonesia. Sebelumnya, pada masa penjajahan Belanda, bahasa Belanda menjadi bahasa bagi kelompok elit dan terpelajar masyarakat Indonesia dan persyaratan untuk mendapatkan pekerjaan di kantor pemerintah. Saat ini, banyak bahasa asing diajarkan dan digunakan di Indonesia. Setelah Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, misalnya, pemerintah Indonesia mewajibkan pengajaran bahasa Inggris di sekolah-sekolah umum. Pada saat penulisan ini, bahasa Inggris juga digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah internasional di berbagai kota besar di Indonesia, di samping sebagai bahasa di berbagai media. Bahasa asing selain bahasa Inggris, seperti Mandarin, Jerman, Korea, Jepang, Prancis, juga sering ditawarkan sebagai bahasa pilihan kepada siswa di sekolah.
Dengan sejarah multibahasa yang begitu panjang di tanah air, pemerintah Indonesia melalui Badan Pembinaan dan Pembinaan Bahasa di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencanangkan slogan, “Utamakan Bahasa Indonesia. Lestarikan Bahasa Daerah. Pelajari Bahasa Asing.” Slogan tersebut tampaknya merupakan konsep yang ideal untuk menempatkan nilai tinggi pada keragaman bahasa di negeri ini. Namun, nilai dalam slogan ini cukup kompleks pada penerapannya. Salah satu hal yang membuat kompleksitas penerapannya adalah bahwa bahasa Pribumi tidak diberi nilai yang sama dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris di ranah penggunaan bahasa yang lebih tinggi dalam masyarakat, seperti sekolah, pemerintahan, bisnis, dan media. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di beberapa komunitas di mana perluasan dominasi penggunaan kedua bahasa tersebut merambah ke domain yang lebih rendah, seperti rumah dan lingkungan sosial kecil di masyarakat lainnya, mempengaruhi stabilitas penggunaan bahasa Pribumi dan menyebabkan terancam punahnya bahasa-bahasa tersebut.
Dalam usaha menjaga vitalitas/kelestarian bahasa-bahasa daerah yang terancam punah, revitalisasi bahasa kini telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh berbagai aktivis kebahasaan di Indonesia. Revitalisasi bahasa merupakan sub-bidang Ilmu Linguistik yang cukup baru yang berkaitan usaha-usaha untuk menghentikan dan membalikkan kepunahan bahasa (Wilhelm, 2017). Salah satu di antara beberapa program revitalisasi yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah dengan peluncuran Merdeka Bahasa Episode 17 yang bertajuk Revitalisasi Bahasa Daerah pada bulan Februari 2022 lalu. Program ini berusaha untuk melakukan revitalisasi pada 38 bahasa daerah yang tersebar di 12 provinsi di Indonesia melalui dunia pendidikan (Puslitjakdikbud Indonesia, 2022)
Usaha revitalisasi bahasa penting untuk dilakukan sebab bahasa menghubungkan penuturnya dengan berbagai aspek sosial, politik dan komunikasi praktis. Keberadaan bahasa di suatu domain mengindikasikan inklusivitas identitas pengguna bahasanya di dalam domain tersebut. Hal ini penting demi mewujudkan masyarakat yang beragam dalam harmoni untuk menghindari diskriminasi kelompok sosial marginal. Di samping itu, penggunaan bahasa ibu dapat mempengaruhi kesejahteraan komunitas penuturnya sebab berbagai alasan seperti pemulihan trauma akibat kolonialisme, mempererat hubungan sosial, membantu mengatasi kendala wicara dan ketidak percayaan diri, meningkatkan potensi kognitif anak, hingga kesehatan fisik seperti melambatnya demensia dan rendahnya statistik penyakit jantung maupun diabetes (Olko & Sallabank, 2021).
Bersama dengan pemerintah, alangkah baiknya kita sebagai penutur asli bahasa-bahasa daerah kita juga dapat secara aktif mendukung usaha-usaha revitalisasi ini sebab generasi kitalah yang akan menentukan masa depan bahasa-bahasa daerah kita sendiri. Beberapa langkah-langkah kecil dapat begitu bermakna bagi kelestarian bahasa kita di antaranya adalah dengan menggunakan bahasa daerah kita di dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di rumah, mengajarkan anak-anak atau adik-adik kita menggunakan bahasa daerah terlebih dahulu sebelum mempelajari bahasa Indonesia dan bahasa lain di sekolah, memastikan sikap positif kita terhadap bahasa daerah dengan mengekspresikannya dalam berbagai ruang sosial, termasuk ruang virtual, sekaligus memberi ruang bagi pengguna bahasa daerah lain untuk menggunakan dan mengekspresikan identitas mereka, dalam hal ini identitas kebahasaan mereka (Olko & Sallabank, 2021). Dengan demikian, keberlangsungan bahasa daerah kita dapat terjaga dan identitas kita sebagai bangsa yang beragam pun semakin menguatkan keutuhan bangsa kita. Bhineka Tunggal Ika.
Daftar Rujukan
- Battiste, M. (1998). Enabling the autumn seed: Toward a decolonized approach to Aboriginal knowledge, language, and education. Canadian Journal of Native Education, 22 (1), 16.
- Benton, N. (1989). Education, language decline and language revitalization: The case of Maori in New Zealand. Language and Education, 3(2), 65-82.
- Eberhard, D. M., Simons, G. F. & Fennig, C. D. (eds). (2019). “Summary by country”. Ethnologue: Languages of the World (22nd ed.). Dallas: SIL International.
- Lomawaima, K. T., & McCarty, T. L. (2006). “To remain an Indian”: Lessons in democracy from a century of Native American education. New York, NY: Teachers College Press.
- Olko, J. & Sallabank, J. (eds.). (2021). Revitalizing Endangered Languages. New York: Cambridge University Press.
- Paauw, S. (2009). One land, one nation, one language: An analysis of Indonesia’s national language policy. University of Rochester Working Papers in the Language Sciences, 5(1), 2-16.
- Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. (2022). Merdeka Belajar Episode 17: Revitalisasi Bahasa Daerah. Diakses pada 10 April 2022 dari https://puslitjakdikbud.kemdikbud.go.id/berita/detail/313039/merdeka-belajar-episode-17-revitalisasi-bahasa-daerah
- Statistics Indonesia. (2015). Kewarganegaraan suku bangsa agama dan bahasa sehari-hari penduduk Indonesia. Jakarta, Indonesia: Badan Pusat Statistik.
- Statistics Indonesia. (2018). Luas daerah dan jumlah pulau menurut provinsi, 2002-2016. Jakarta, Indonesia: Badan Pusat Statistik.
- Wilhem, A. (2017). Language Revitalization. Victoria: University of Victoria.